NAGRAK - SUKABUMI

Selasa, 23 Juni 2015

PEMENTASAN TUJUH KOREOGRAFER TERBAIK SE JAWA BARAT DI MONUMEN PERJUANGAN RAKYAT JAWA BARAT

JUDUL TARIAN  : Rengkak Nyi Ronggeng karya : Ujang Hendi
PEMUSIK             : Sanggar Panineungan
PIMPINAN           : Ujang Hendi
ALAMAT             : Kp. Nagrak Lebak Rt.01/02. Desa Balekambang.
                                Kec. Nagrak-Sukabumi





Bersama Sandrina IMB 


Kiri: Ujang Hendi. Tengah: Pa RT Awas Ada Sule Kanan: Ki Domon


Share:

Rabu, 15 Februari 2012

SENI DEGUNG


Degung adalah kumpulan alat musik dari sunda.
Ada dua pengertian tentang istilah degung:

* Degung sebagai nama perangkat gamelan
* Degung sebagai nama laras bagian dari laras salendro ( berdasarkan teori Machyar Angga Kusumahdinata).

Degung sebagai unit gamelan dan degung sebagai laras memang sangat lain. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk: (mi) 2 – (la) 5) dan degung triswara: 1 (da), 3 (na), dan 4 (ti).

Gamelan Degung

Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di Jawa Barat, antara lain Gamelan Salendro, Pelog dan Degung. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain. Gamelan pelogfungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurang akrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di masyarakat. Hal ini menandakan cukup terwakilinya seperangkat gamelan dengan keberadaan gamelan salendro, sementara gamelan degung dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat. Gamelan lainnya adalah gamelan Ajeng berlaras salendro yang masih terdapat di kabupaten Bogor, dan gamelan Renteng yang ada di beberapa tempat, salah satunya di Batu Karut, Cikalong kabupaten Bandung. Melihat bentuk dan interval gamelan renteng, ada pendapat bahwa kemungkinan besar gamelan degung yang sekarang berkembang, berorientasi pada gamelan Renteng.

Sejarah

Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).

Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.

Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan, bahasa Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yangdigantung”.Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (1791—1828).

Perkembangan

Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan (instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (1912—1920) melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena membuat suasana kurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya. Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang, Anang Thayib, merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut. Oleh karena itu dia mengajukan permohonan kepada bupati agar diijinkan menggunakan degung dalam hajatannya, dan diijinkannya. Mulai saat itulah degung digunakan dalam hajatan (perhelatan) umum.

Permohonan semacam itu semakin banyak, maka bupati memerintahkan supaya membuat gamelan degung lagi, dan terwujud degung baru yang dinamakan Purbasasaka, dipimpin oleh Oyo. Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah. Kemudian penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak Idi. Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosalLoetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut. Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan. Tahun 1926 degung dipakai untuk illustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung. Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.
Setelah Idi meninggal (tahun 1945) degung tersendat perkembangannya. Apalagi setelah itu revolusi fisik banyak mengakibatkan penderitaan masyarakat. Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun 1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu yang telah ada, mereka menciptakan pula lagu-lagu baru dengan nuansa lagu-lagu degung sebelumnya. Tahun 1956 degung mulai disiarkan secara tetap di RRI Bandung dengan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat.
Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih dengan musik degung dengan iringan degung lagu palwa. Bunyi degung lagu Palwa setiap kali terdengar tatkala pembukaan acara warta berita bahasa Sunda, sehingga dapat meresap dan membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat. Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. Selanjutnya E. Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung dengan lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog. Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh yang memelopori degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti dikemukakan Enoch Atmadibrata, degung wanita dipelopori oleh para anggota Damas (Daya Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata (menantu Oyo).

Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam degung. Tetapi hal ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya Mandalakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) melengkapi degung dengan waditra gambang, saron, dan rebab.Kelengkapan ini untuk mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu Wibisana. Gamelan degung ini dinamakan degung Si Pawit. Degung ini juga digunakan untuk pirigan wayang Pakuan. Dari rekaman-rekaman produksi Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi dapat didengarkan degung yang menggunakan waditra tambahan ini. Lagu-lagu serta garap tabuhnya banyak mengambil dari gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas, dsb. Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung yang nadanya berorientasi pada gamelan salendro (dwi swara).
Bentuk ancak bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu itu, surupannya lebih tinggi. Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R. Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk mengiringi gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana. Tahun 1970—1980-an semakin banyak yang menggarap degung, misalnya Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan Kustyara, dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainansulingnya yang khas. Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri. Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan Kalangkang yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986).
Lagu Kalangkang ini lebih populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun 1987. Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an) dimana para penyanyi degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden; ronggeng), para penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an) kebanyakan berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria maupun wanita. Juru kawih degung yang populer dan berasal dari kalangan mamaos di antaranya Euis Komariah, Ida Widawati, Teti Afienti, Mamah Dasimah, Barman Syahyana, Didin S. Badjuri, Yus Wiradiredja, Tati Saleh dan sebagainya.

Lagu-lagu degung di antaranya: Palwa, Palsiun, Bima Mobos (Sancang), Sang Bango, Kinteul Bueuk, Pajajaran, Catrik, Lalayaran, Jipang Lontang, Sangkuratu, Karang Ulun, Karangmantri, Ladrak, Ujung Laut, Manintin, Beber Layar, Kadewan, Padayungan, dsb.

Sedangkan lagu-lagu degung ciptaan baru yang digarap dengan menggunakan pola lagu rerenggongan di antaranya: Samar-samar, Kembang Ligar, Surat Ondangan, Hariring Bandung, Tepang Asih, Kalangkang, Rumaos, Bentang Kuring, dsb.

Perkembangan di luar negeri

Di luar Indonesia pengembangan degung dilakukan oleh perguruan tinggi seni dan beberapa musisi, misalnya Lingkung Seni Pusaka Sunda University of California (Santa Cruz, USA), musisi Lou Harrison (US), dan Rachel Swindell bersama mahasiswa lainnya di London (Inggris), Paraguna (Jepang), serta Evergreen, John Sidal (Kanada). Di Melbourne, Australia, ada sebuah set gamelan degung milik University of Melbourne yang seringkali digunakan oleh sebuah komunitas pencinta musik Sunda untuk latihan dan pementasan di festival-festival.

Informasi Lain :
Indonesia sesungguhnya tidak saja memiliki kekayaan alam yang begitu besar dan cantik, tetapi juga kaya akan kesenian daerahnya.Tentu sulit menemukan keragaman dan kekayaan kesenian seperti yang dapat diketemukan di berbagai propinsi di Indonesia.

Salah satu kesenian yang kaya yang ada di Indonesia adalah musik daerah yang harus disadari sebagai kekayaan bangsa. Musik daerah yang cukup terkenal adalah gamelan. Gamelan sebenarnya adalah ensembel musik yang menonjolkan berbagai alat musik tradisional yaitu metalofon, gambang, gendang, dan gong. Gamelan sebenarnya merupakan sekelompok alat musik yang membunyikannya dengan cara kebanyakan dipukul. Kita bisa menjumpai orkes gamelan ini di beberapa pulau yang sering menampilkan berbagai pertunjukan dengan menggunakan gamelan. Kita pasti sering mendengar gamelan Jawa, Bali, bahkan gamelan juga dimiliki Madura dan Lombok. Gamelannya juga ada dalam berbagai jenis ukuran dan bentuknya.

Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro, pélog, "Degung" (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan "madenda" (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa).

Seni Degung
Bagi orang Sunda seni Degung cukup digemari. Degung adalah suatu seni karawitan Sunda yang menggunakan perangkat gamelan berlaras degung (lebih umum berlaras pelog) dan biasanya terdiri atas saron, panerus, bonang, jengglong, gong, kendang, goong, serta suling. Ketika pertama-tama muncul degung ini memiliki lagu-lagu seperti Lambang, Pajajaran Beber Layar, Bima Mobos, Kodehel, Jipang Prawa, Jipang Karaton, Mayaselas, dan lain lain. Namun semakin berkembang maka semakin banyak sentuhan kreasi para seniman atasnya, sehingga muncullah kreasi komposisi lagu seperti catrik, sinyur, banjaran, lalayaran, dan sebagainya. Dari komposisi tersebut, maka muncullah lagu-lagu degung wanda anyar seperti lagu Kalangkang (catrik), Nimang (Sinyur), Asa Tos Tepang (Catrik), Anjeun (mandiri). Bahkan gamelan degung sekarang kerap dibubuhi kacapi siter dan bisa mengiring lagu-lagu berlaras sorong seperti Potret Manehna, Dua Saati, Kapaut Imut, Kacipta Kapiati, Bantang Kuring, dan lain-lain

Arti Degung sebenarnya hampir sama dengan Gangsa di Jawa Tengah, Gong di Bali atau Goong di Banten yang juga dinamakan Gamelan.

Pada awalnya, Degung adalah nama dari waditra berbentuk 6 buah gong kecil, dan biasanya digantungkan pada “kakanco” atau rancak/ancak. Waditra ini biasa disebut “bende renteng” atau “jenglong gayor”. Perkembangan menunjukan bahwa akhirnya nama ini digunakan untuk menyebut seperangkat alat yang disebut Gamelan Degung dimana pada awalnya gamelan ini berlaras Degung namun kemudian ditambah pula dengan nada sisipan sehingga menjadi laras yang lain (bisa Laras Madenda/Nyorog ataupun laras Mandalungan/Kobongan/Mataraman)

Berdasarkan sejarah, Degung adalah salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda, yang diawalai sekitar abad 18/awal abad 19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).

Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.

Degung juga dipercaya sebagai musik kerajaan atau kadaleman. Bahkan dikaitkan dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang artinya adalah kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, mengaitkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Sedangkan istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan, bahasa Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.

Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (1791—1828).

Di samping itu, pendapat lain mengatakan bahwa kata Degung berasal dari kata ratu-agung atau tumenggung, karena Gamelan Degung sangat digemari oleh para pejabat pada waktu itu. Bahkan seorang bupati dari Bandung, R.A.A. Wiranatakusuma adalah salah seorang pejabat yang sangat menggemari Degung, bahkan sempat mendokumentasikan beberapa lagu Degung kedalam bentuk rekaman suara.

Ada pula yang menyebutkan Degung berasal dari kata “Deg ngadeg ka nu Agung” yang artinya kita harus senantiasa menghadap (beribadah) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bahasa Sunda banyak terdapat kata-kata yang berakhiran gung yang artinya menunjukan tempat/kedudukan yang tinggi dan terhormat misalnya : Panggung, Agung, Tumenggung, dsbnya. Itu sebabnya Degung memberi gambaran kepada orang Sunda sebagai sesuatu yang agung dan terhormat yang digemari oleh Pangagung.

Mula mula Degung merupakan karawitan gending, tetapi terus berkembang dari jaman ke jaman. Pada tahun 1958 dalam bentuk pergelarannya barulah degung menjadi bentuk sekar gending, dimana lagu-lagu Ageung diberi rumpaka, melodi lagu dan bonang kadangkala sejajar kecuali untuk nada-nada yang tinggi dan rendah apabila tidak tercapai oleh Sekar. Banyaknya kreasi-kreasi dalam sekar, tari, wayang menjadikan degung seperti sekarang ini.




===================================================================================
                      Kanggo langkung euyeub, ditambih ku seratan dihandap oge....
=========================================================================

Degung Klasik Sunda

1. Asal Mula Degung
Jaap Kunst dalam bukunya Toonkunst van Java (Kunst, 1934), mencatat bahwa awal perkembangan Degung adalah sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Dalam studi literaturnya, disebutkan bahwa kata “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata “de gong” (gamelan: Belanda) dalam kamus ini terkandung pengertian: penclon-penclon yang digantung[1]. Menurut Entjar Tjarmedi dalam bukunya Pangajaran Degung, waditra (instrumen: Sunda) ini berbentuk 6 buah gong kecil yang biasanya digantung pada sebuah gantungan yang disebut dengan rancak. Menurut beliau istilah “gamelan Degung” diambil dari nama waditra tersebut, yang kini lebih dikenal dengan istilah jenglong (Tjarmedi, 1974: 7).
Adapun mengenai waktu kemunculannya belum ada literatur yang akurat selain kamus H.J. Oosting di atas. Namun sebagaimana Jaap Kunst, Enip Sukanda pun berpendapat dalam karya penelitiannya tentang Dedegungan pada Tembang Sunda Cianjuran, bahwa ketika kamus itu dicetak berarti gamelan Degung-nya sudah ada terlebih dahulu, katakanlah sekitar 100 tahun sebelumnya (Sukanda, 1984:15).
Ada pendapat lain yaitu dari Atik Soepandi, dalam tulisannya mengenaiPerkembangan Seni Degung Di Jawa Barat, bahwa gamelan Degung adalah istilah lain dari Goong Renteng, mengingat banyak persamaan antara lagu-lagu Degung Klasik dengan lagu-lagu goong renteng (Soepandi, 1974). Perbedaannya adalah apabila Goong Renteng kebanyakan ditemukan di kalangan masyarakat petani (rakyat), maka gamelan Degung ditemukan di lingkungan bangsawan (menak).

2. Istilah “Degung”
Istilah “degung” memiliki dua pengertian: pertama, adalah nama seperangkat gamelan yang digunakan oleh masyarakat Sunda, yakni gamelan-degung. Gamelan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan gamelan pelog-salendro, baik dari jenis instrumennya, lagu-lagunya, teknik memainkannya, maupun konteks sosialnya; kedua, adalah nama laras (tangga nada) yang merupakan bagian dari laras salendro berdasarkan teori R. Machjar Angga Koesoemahdinata. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk nada mi (2) dan la (5)) dan degung triswara (tumbuk nada da (1), na (3), dan ti (4))[2]. Karena perbedaan inilah maka Degung dimaklumi sebagai musik yang khas dan merupakan identitas masyarakat Sunda.
Dihubungkan dengan kirata basa[3], kata “degung” berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa fungsi kesenian ini dahulunya digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E.Sutisna, salah seorang nayaga(penabuh) grup Degung “Parahyangan”, mengatakan bahwa gamelan Degung dulunya hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam buku Sejarah Seni Budaya Jawa Barat Jidlid II yang disusun oleh Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat, disebutkan bahwa:
“Pada mulanya pemanggungan gamelan Degung terbatas di lingkungan pendopo-pendopo kabupaten untuk mengiringi upacara-upacara yang bersifat resmi. Menurut riwayat, gamelan Degung yang masuk ke kabupaten Bandung berasal dari kabupaten Cianjur. Raden Aria Adipati Wiranatakusumah V yang kemudian dikenal dengan julukan Dalem Haji sebelum menjadi bupati Bandung pernah berkedudukan sebagai bupati Cianjur. Pada waktu itu di kabupaten Cianjur telah berkembang seni Degung. Pada tahun 1920 R.A.A. Wiranatakusumah V mulai diangkat menjadi bupati Bandung, ketika itu beberapa orang pemain seni Degung Cianjur ada yang ikut serta ke Bandung.” (1977: 69)
Dari keterangan tersebut bisa disimpulkan bahwa pada awalnya gamelan ini merupakan musik keraton atau kadaleman, di mana nilai-nilai etika sosial dan estetikadijunjung tinggi. Pada saat itu Degung merupakan musik gendingan (instrumental) untuk mengiringi momen-momen yang sakral. Namun kepindahannya secara politis dari kabupaten Cianjur ke kabupaten Bandung, menyebabkan perubahan-perubahan penting yang akan diterangkan pada bagian setelah ini.

3. Struktur Waditra/Instrumen
Pada awal pemerintahan Dalem Haji[4] sebagai bupati Bandung, ensambel gamelan Degung hanya terdiri dari alat-alat instrumen: bonang, cecempres (saron/panerus), jengglong (degung), dan goong. Namun atas usul Abah Iyam dan putra-putranya, yaitu Abah Idi, Abah Oyo, dan Abah Atma, para seniman karawitan Bandung yang sudah membentuk grup “Pamagersari” (Abah Idi, 1918) dan “Purbasasaka” (Abah Oyo, 1919), perangkatnya ditambah dengan: peking, kendang,dan suling. Usul ini disampaikan setelah diadakan Cuultuurcongres Java Instituut pada tanggal 18 Juni 1921 yang di dalamnya menampilkan Goong Renteng dari desa Lebakwangi, kecamatan Banjaran, kabupaten Bandung[5].
Pada tahun 1961 oleh R.A. Darya atau R.A. Mandalakusuma (kepala RRI Bandung), ketika menggunakan gamelan Degung untuk mendukung gending karesmen[6] berjudul “Mundinglayadikusumah” garapan Wahyu Wibisana, waditra Degung ditambah lagi dengan gambang dan rebab. Lalu pada tahun 1962, ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam ensambel Degung. Nano S. dalam karya-karya Degung Baru bahkan memasukkan waditra kacapi. Namun penambahan beberapa waditra ini tidak bertahan lama, hanya bersifat situasional dan kondisionalpada garapan tertentu, kecuali waditra peking, kendang, dan suling yang masih bertahan sampai sekarang.
Dilihat dari bentuknya, waditra bonang, jenglong, dan goong berbentuk penclon, yang secara organologis termasuk ke dalam klasifikasi idiofon (alat pukul) dengan sub klasifikasi gong chime. Sedangkan waditra cecempres dan peking berbentuk wilahan(bilah), yang secara organologis termasuk ke dalam klasifikasi idiofon dengan sub klasifikasi metalofon. Sementara waditra suling termasuk aerofon, dan kendang termasuk membranofon. Klasifikasi ini berdasarkan terjemahan Rizaldi Siagian dari teori Sachs/Hornbostel (1914:6)[7].
Banyaknya penclon pada waditra bonang biasanya antara 14 sampai dengan 16 buah, dimulai dengan nada 1 (da) tertinggi sampai nada 1 (da) terendah sebanyak 3gembyang (oktaf). Penclon-penclon ini disusun di atas rancak (penyangga), dengan menempatkan penclon terkecil (nada tertinggi) di ujung sebelah kanan pemain, berurutan hingga penclon terbesar (nada terendah) di ujung sebelah kiri pemain. Hal ini disesuaikan dengan urutan nada pada laras (tangga nada) Degung[8]. Bonang bertugas sebagai pembawa melodi pokok yang merupakan induk dari semua waditra lainnya. Pangkat (intro) lagu Degung dimulai dari waditra ini.
Penclon pada waditra jenglong berjumlah 6 buah yang terdiri dari nada 5 (la) hingga 5 (la) di bawahnya (1 gembyang), dengan ambitus (wilayah nada) yang lebih rendah dari bonang. Penclon-penclon ini digantung dengan tali pada rancak yang berbentuk tiang gantungan (lihat gambar 4 di belakang-kanan). Jenglong bertugas sebagai balunganing gending (bass; penyangga lagu) yakni sebagai penegas melodi bonang.
Gong yang terdiri dari 2 buah penclon, yakni kempul (gong kecil) dan goong (gong besar) digantung dengan tali secara berhadapan pada rancak (lihat gambar 8 di belakang-kiri). Kempul berada di sebelah kiri pemain, sementara goong di sebelah kanan pemain. Ambitus nada gong sangat rendah, bertugas sebagai pengatur wiletan(birama) atau sebagai tanda akhir periode melodi dan penutup kalimat lagu. Goong disebut juga sebagai pamuas lagu.
Jumlah wilahan pada cecempres adalah 14 buah, disusun di atas rancak yang dimulai dari nada 2 (mi) tertinggi di ujung sebelah kanan pemain hingga nada 5 (la) terendah di ujung sebelah kiri pemain. Cecempres bertugas sebagai rithm (patokan nada) yang menegaskan melodi bonang, yang dipukul dengan pola yang konstan.
Adapun jumlah wilahan pada peking adalah sama dengan cecempres, namun nada-nada peking memiliki ambitus (wilayah nada) yang lebih tinggi dari cecempres (biasanya antara sakempyung: kira-kira 1 kwint hingga sagembyang: kira-kira 1 oktav). Tugas peking agak berbeda dari cecempres, yakni sebagai pengiring melodi. Apabila jenglong dan cecempres dipukul tandak (konstan menurut ketukan), maka peking terkesan lebih ber-improvisasi. Peking sering juga disebut sebagai pameulit/pamanislagu. Sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya, peking merupakan waditra tambahan.
Seperti halnya peking, waditra kendang dan suling juga merupakan tambahan. Pada awalnya kendang tidak dimainkan seperti pada lagu-lagu berlaras pelog/salendro, tetapi hanya sebagai penjaga ketukan saja seperti pada orkestra Barat. Namun permainan kendang pada lagu-lagu Degung sekarang lebih variatif, sehingga menurut penulis hal ini menyebabkan penonjolan melodi bonang jadi ‘tersaingi’. Begitupun dalam permainan suling. Walaupun dengan timbre (warna suara) yang berbeda, namun kedudukannya sama seperti vokal sehingga pendengar jadi kurang menikmati melodi bonang. Namun pada lagu-lagu Degung Baru kehadiran peking, kendang, dan suling ini menjadi hal biasa, apalagi bagi apresiator yang belum pernah mendengar lagu-lagu Degung.
Bahan dasar pembuatan bonang, cecempres, peking, jenglong, dan goong yang paling baik kualitas suaranya adalah dari logam perunggu (campuran timah dan tembaga dengan perbandingan 1 : 3). Ada yang menggunakan bahan dasar logam kuningan dan besi. Namun kedua logam tersebut kualitas suaranya lebih rendah daripada logam perunggu[9]. Kualitas logam ini pun berpengaruh kepada daya tahan terhadap cuaca.

4. Laras/Tangga Nada
Laras (berasal dari bahasa Jawa) mengandung pengertian yang sama dengantangga nada pada musik Barat, yakni: deretan nada-nada, baik turun maupun naik, yang disusun dalam satu gembyang (oktav) dengan swarantara (interval) tertentu. Satu gembyang adalah jarak antara satu nada ke nada yang sama di atasnya (misalnya dari 1 ke 1’ tinggi). Seperti kita ketahui bahwa pada teori musik Barat, satu gembyang berjarak 1200 sen.
Sementara swarantara adalah jarak antara nada satu ke nada berikutnya (misalnya 1 ke 2, 2 ke 3, dan seterusnya). Perbedaan laras Sunda dengan tangga nada musik Barat adalah, apabila pada tangga nada musik Barat penomoran nada diatur naikdari nada rendah ke nada tinggi (berjumlah 7 nada pokok), maka pada laras Sunda penomoran diatur menurun dari nada tinggi ke nada rendah (berjumlah 5 nada pokok).
Dalam karawitan Sunda dikenal empat laras pokok, yaitu: laras pelog, laras salendro (yang keduanya dikenal juga di Jawa dan Bali), laras madenda/sorog, danlaras Degung (yang kedua terakhir ini hanya dikenal di daerah Sunda). Keempat laras ini masing-masing memiliki perbedaan pada swarantaranya. Raden Machjar Angga Koemoemadinata dalam buku Ilmu Seni Raras (1969) telah membagi perbedaan swarantara pada laras-laras tersebut, namun uraian mengenai hal itu akan memerlukan pembahasan yang terlalu panjang. Dalam tulisan ini, yang diperlukan adalah perbedaan swarantara pada laras Degung.

Laras Degung:
Seperti pada laras Pelog, swarantara pada laras Degung dari nada yang satu ke nada berikutnya juga berbeda-beda. Namun laras Degung menurut Rd. Machjar merupakan keturunan dari laras Salendro, sehingga 1 gembyangnya dibagi menjadi 15 garis jarak, jadi masing-masing jaraknya adalah 1200/15 = 80 sen. Untuk lebih jelasnya perhatikan grafik berikut ini:

1 (da)
2 (mi)
3 (na)
1 gembyang
= 1200 sen
4 (ti)
5 (la)
1 (da)

Keterangan:
Swarantara antar nada-nada pada laras Degung adalah sebagai berikut:
- Swarantara nada 1 (da) ke 2 (mi) adalah 80 sen.
- Swarantara nada 2 (mi) ke 3 (na) adalah 400 sen.
- Swarantara nada 3 (na) ke 4 (ti) adalah 240 sen.
- Swarantara nada 4 (ti) ke 5 (la) adalah 80 sen.
- Swarantara nada 5 (la) ke 1 (da) adalah 400 sen.

Namun beberapa tahun terakhir ini banyak peneliti yang mengkritisi teori Rd. Machjar, di antaranya adalah tulisan Heri Herdini pada Jurnal Seni STSI Bandung,Panggung, edisi XXXII yang berjudul “Peninjauan Ulang Terhadap Teori Laras dan Surupan Karya Raden Machjar Angga Koesoemadinata”. Tulisan itu merupakan hasil penelitian terhadap 52 alat musik yang terdiri dari 30 instrumen gamelan, 10 instrumen tarawangsa (rebab dan kacapi), 7 instrumen kacapi indung, dan 5 instrumen rebab. Penelitian ini dipimpin oleh Deni Hermawan dengan bantuan sponsor dari The Toyota Foundation.
Setelah dilakukan pengukuran frekuensi nada-nada pada gamelan, kacapi, dan rebab tersebut dengan menggunakan alat ukur frekuensi bernama Dual Channel Real-Time Frequency Analyzer tipe 2144, diperoleh data-data sebagai berikut:

Tabel 2.1.
Data interval laras Degung, Madenda, dan Salendro

NO.
NAMA LARAS
SUSUNAN INTERVAL NADA
1
Laras Degung
1
2
3
4
5
1
99,65 398,64 199,31 99,65 398,64
2
Laras Madenda
3
4
5
1
2
3
99,72 199,31 398,66 99,65 398,65
3
Laras Salendro
1
2
3
4
5
1
249,11 249,14 199,31 249,13 249,14
Tabel 2.2.
Interval dari ketiga laras tersebut apabila dibulatkan menjadi:

NO.
NAMA LARAS
SUSUNAN INTERVAL NADA
1
Laras Degung
1
2
3
4
5
1
100 400 200 100 400
2
Laras Madenda
3
4
5
1
2
3
100 200 400 100 400
3
Laras Salendro
1
2
3
4
5
1
250 250 200 250 250

Dari data-data hasil penelitian tersebut, maka Herdini menarik kesimpulan sebagai berikut:
“Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diperoleh kesimpulan sementara bahwa laras salendro yang sebenarnya adalah ‘bedantara’ dengan susunan interval 250 – 250 – 200 – 250 – 250. Dengan demikian, laras salendro padantara sebagaimana yang dinyatakan dalam teori laras Raden Machjar Angga Koesoemadinata sesungguhnya tidak ada. Kesimpulan kedua, pendapat Raden Machjar Angga Koesoemadinata tentang laras Degung dan madenda sebagai turunan dari laras salendro sesungguhnya perlu dipertanyakan dan dikaji ulang kembali, oleh karena interval 250 sen pada laras salendro bila dibagi oleh interval 100 sen pada laras Degung dan madenda tidak menghasilkan jumlah yang bulat. Dengan demikian, dilihat dari proses pembentukannya, laras Degung dan madenda merupakan laras yang mandiri bukan merupakan keturunan dari laras salendro.” (Herdini, 2004:65-66)

Pada kenyataannya sistem pelarasan dalam karawitan (musik) Sunda memang tidak ada yang persis sama. Kenyataan ini akan semakin terasa apabila kita mencoba membandingkan antara instrumen yang satu dengan lainnya, misalnya: antara laras goong renteng Embah Bandong desa Lebakwangi-Batukarut di Bandung selatan, berbeda dengan laras goong renteng Panggugah Manah desa Cigugur di Kuningan; antara kacapi indung Cianjuran dengan Jentreng Tarawangsa; antara gamelan Degung di Bandung dengan di Cirebon; dan sebagainya.
5. Pola Tabuhan
Karakteristik yang paling menonjol – dan jarang ditemukan pada ensambel gamelan lain – dari musik Degung adalah pola tabuhan bonangnya yang menggunakan teknikgumekan[10]. Pola tabuhan bonang inilah yang mewakili ekspresi melodi utamamusik instrumental Degung seperti permainan piano pada musik klasik Barat[11]. Ketrampilan kedua tangan pemain bonang memegang peranan yang penting sebagai ‘komando’ pada orkestra ini.
Pada gamelan pelog/salendro pola tabuhan bonang dan rincik[12] menggunakan teknik dikemprang[13] atau dicaruk[14]. Namun teknik dicaruk lebih sering digunakan pada pola tabuhan saron I dan saron II. Jadi, perlu digarisbawahi bahwa apabila kita menemukan pola tabuhan bonang yang dikemprang ataupun peking dan saron yang dicaruk pada lagu Degung, sesungguhnya hal itu adalah pengaruh dari jenis kesenian lain yang menggunakan gamelan pelog/salendro, seperti: kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan.
Teknik gumekan bonang inilah yang menjadi ciri khas lagu-lagu Degung sekaligus yang membedakannya dengan teknik kemprangan atau carukan pada lagu-lagu kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan. Degung adalah orkestra yang berbentukinstrumental dengan bonang sebagai ‘induk’nya, sementara kiliningan, ketuk tiluan, dan jaipongan musik pengiring untuk sekar atau tarian.

6. Repertoar Degung
Repertoar gamelan Degung dibagi menjadi dua jenis: pertama, repertoar Degung klasik yang masih mempertahankan teknik gumekan bonang sebagai ekspresi melodi;kedua, repertoar Degung non klasik – oleh Soepandi disebut dengan Degung Baru – yang sudah dipengaruhi oleh pola tabuhan gamelan pelog/salendro (dikemprang atau dicaruk).
Kalimat lagu pada Degung klasik (intrumentalia) umumnya panjang-panjang, karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu ageung’. Sementara pola lagu-lagu Degung Baru merupakan pirigan[15] untuk mengiringi sekar, karena itu sering disebut juga dengan ‘lagu alit’. Namun dalam perkembangannya, beberapa lagu ageung pun sekarang sudah ada yang diisi rampak sekar (vokal grup).
Struktur garapan pada repertoar Degung terdiri dari: pangkat, eusi, danmadakeun. Struktur ini sama dengan istilah overture, interlude, dan coda pada musik Barat. Pangkat adalah kalimat pembuka lagu yang dimainkan oleh waditra bonang. Eusiadalah melodi pokok yang merupakan isi lagu itu sendiri. Madakeun adalah kalimat penutup lagu. Kalimat pangkat dan madakeun lebih pendek daripada eusi.
Melodi pangkat dan madakeun kebanyakan berakhir pada nada 5 (la) dengan pukulan goong (gong besar) yang juga biasanya bernada 5 (la) rendah. Di dalam eusilagu-lagu pun akan banyak kita temui nada 5 (la) sebagai akhir kalimat lagu (titik), sementara nada 2 (mi) biasanya dijadikan akhir melodi pada pertengahan lagu (koma). Ini menunjukkan bahwa nada 2 (mi) dan nada 5 (la) merupakan nada yang penting dan menjadi ciri khas lain pada repertoar Degung.
Beberapa contoh repertoar Degung yang diciptakan oleh R.A.A. Koesoemahningrat V (Dalem Pancaniti: 1834-1868) dan R.A.A. Prawadiredja II (Dalem Bintang: 1868-1910) pada Album Serial Degung produksi PT. Gema Nada Pertiwi tahun 2002 adalah: 1) Mangari, 2) Maya Selas, 3) Lalayaran, 4) Palsiun, 5) Genye, 6) Paturay, 7) Ayun Ambing,   Sang Bango, 9) Paksi Tuwung, 10) Lambang, 11) Manintin, 12) Jipang Prawa, 13) Palwa, 14) Kadewan, 15) Banteng Wulung, 16) Beber Layar, 17) Kulawu, 18) Padayungan, 19) Ladrak, 20) Balenderan, 21) Papalayon, 22) Mangu-Mangu Degung, 23) Jipang Lontang, 24) Gegot, 25) Sulanjana, 26) Karang Mantri Kajineman, 27) Gunung Sari, 28) Banjaran, 29) Kunang-Kunang, 30) Celementre, 31) Renggong Buyut, dan 32) Senggot (Volume 1 s/d 7). Beberapa merupakan hasil recomposed (arransemen ulang) oleh Abah Idi[16].
Abah Idi dalam perjalanannya sebagai tokoh Degung awal abad XX, pernah membuat ciptaan asli (bukan recomposed), yakni: 1) Sangkuratu, 2) Duda, 3) Galatik Mangut, dan 4) Ujung Laut. Sementara Entjar Tjarmedi, sebagai salah seorang tokoh yang pernah ‘menyelamatkan’ Degung pada awal tahun 1950-an dengan siaran rutinnya di RRI Bandung, tercatat juga sebagai komposer repertoar Degung dengan lagu-lagu: 1) Kahyangan, 2) Layungsari, 3) Pajajaran, 4) Kidang Mas, 5) Lengser Midang, 6) Pulo Ganti, 7) Kajajaden,   Lambang Parahyangan, dan 9) Purbasaka. Nama-nama komposer lainnya yaitu: Abah Atma yang menciptakan lagu 1) Maya Selasdan 2) Paron; Abah Absar lagu 1) Karang Kamulyan dan 2) Hayam Sabrang; U. Tarya lagu 1) Seler Degung; Hj. Siti Rokayah lagu 1) Sinangling Degung.
Adapun repertoar non klasik/Degung Baru sangat banyak jumlahnya. Sangatlah tidak mungkin untuk dituliskan semuanya dalam paper ini. Namun sebagai sekedar contoh yang paling mewakili jenis tersebut adalah karya Nano S. dengan grup “Gentra Madya”nya berupa album kaset Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984), dan Kalangkang (1986) yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana.
Dari judul-judul repertoar musik Degung di atas (dalam bahasa Sunda), bisa kita lihat bahwa musik Degung hampir seluruhnya menggambarkan suasana alam pegunungan, apalagi setelah kita mendengarkan lagu-lagunya yang mengalun lembut. Namun sangat disayangkan, bahwa musik Degung pada zaman sekarang sudah jarang diminati oleh masyarakat Sunda sendiri, sehingga keasliannya terancam punah. Yang disebut musik Degung sekarang hanyalah waditra gamelannya, sedangkan lagu-lagunya kebanyakan sudah bukan lagu-lagu Degung klasik dalam bentuk musik intrumentalia lagi. Para pangrawit Degung juga kebanyakan adalah para pangrawit gamelan Pelog-Salendro.




Share:

Rabu, 01 Februari 2012

SASAKALA PALABUAN RATU



Palabuhanratu ngadeg sabada Pakuan Pajajaran ancur lebur digempur musuh. Ari nu janten musuh natěh nyaěta Karajaan Banten. Anu harita mah disebatna těh Surasowan. Pajajaran teu tiasa ngayonan musuh, margi musuhna kawilang tanggoh. Katambih dibantuan deuih ku Nagara Tatanggana nyaěta Demak sareng Cirebon.
Waktos perang campuh, salah sawios Putri Raja Pajajaran majeng ka medan jurit. Jenenganana Nyai Putri Purnamasari. Nyai Putri kěnging pancěn geus nyegat musuh ti palih kidul anjeuna disarengan ku carogěna. Jenengan carogěna nyaěta Raděn Kumbang Bagus Sětra. Raděn Kumbang těh kawit ti Nagara Pajajaran selatan atanapi Banten Kidul. Putra salah sawios měnak ti ěta nagara.
Dina enggoning mancěn tugas, Nyai Putri Purnamasari těh dibantuan deuih kuhiji tanggeuh manggala anu sakti mandraguna. Jenenganana Rakěan Kalang Sunda, salah sawios andelan ti Pakuan Pajajaran.
Musuh nu kedah diayonan těh kacida seueurna. Sedengkeun Nyai Putri, Raděn Kumbang, Rakěan Kalang Sunda, katut balad-baladna mung sakedik. Atuh perang těh teu saimbang. Akhirna Nyai Putri sareng balad-baladna mundur ka palih kidul. Kawitna mundur ka Rancamaya. Terus mapay-mapay leuweung bari ngaleungitkeun salasah sangkan teu kasusud ku musuh.
Balad-balad Nyai Putri mingkin lami mingkin ngirangan. Malih, akhirna mah taya nu nyěsa sěěp sadayana. Akhirna Nyai Putri mung disarengan kuduaan, nyaěta ku Raděn Kumbang Bagus Sětra sareng Rakěan Kalang Sunda. Lalampahanana dugi kahiji lamping pasir nu kacida bunina. Lebah dinya reureuh heula, margi salirana tos karaos nahnay.

Bakating ku capě, Nyai Putri ngalungsar handapeun tangkal. Mastakana di tumpukeun kana akar kai nu ngajolor. Akhirna dugi ka kulemna. Kitu deui Raděn Kumbang Bagus Sětra salirana nyarandě kana tangkal kai ageung.

 Teras anjeuna ogě kulem. Mung Raděn Kalang Sunda nu teu kulem těh.
Raděn Kalang Sunda tetep taki-taki bari mulungan buah caringin sareng buah kiara, socana ngawaskeun kasabudeureun ěta tempat. Bangunna gaduh karisi, inggis musuh tiasa nyusul kalebah dinya.
Tětěla pangrasa Rakěan Kalang Sunda těh seukeut pisan. Buktosna, rentang-rentang tikatebihan, aleutan musuh tos katingal. Pernahna lebakeun pasir. Pamingpina tumpak kuda. Anggoana siga urang Arab, nganggo jubah bodas. Lebah cangkěngna nyolěgrěng pedang mani melengkung. Upami ningal dedeg pangadegna, rupina ěta jalmi těh saněs jalmi jorě-jorě. Tapi jalmi nu luhur ělmu tur ageung wawaněnna.
Jalmi nu tumpak kuda těh jenengannana Jaya Antěa. Kapungkurna Mantri Majeti Pajajaran. Mung hanjakal, ayeuna milu ka musuh nu janten marga lantaranna těh nyaěta mikahoyong ka Nyai Putri Purnamasari, mung teu laksana da Nyai Putri ditikahkeun ka Raděn Kumbang Bagus Sětra.
Kumargi kahoyongna henteu tinekanan, Jaya Antěa remen ngadamel kariweuhan antukna di lirěnkeun tina Mantri Majetina. Malih, dugi ka diusirna ti Pajajaran.
Ku alpukah sobat-sobatna, nyaěta para padagang bangsa Arab, Jaya Antěa di candak ka tanah Arab. Anjeuna ngamukim kěnging lima taun. didituna těh ngulik bagbagan Agama Islam.
Mulihna ti tanah Arab henteu langsung ka Pakuan Pajajaran. Anjeuna ngabujeng ka nagara Banten. Didinya ngangken-ngangken yěn dirina těh Prabu Anom Kian Santang putra mahkota Pajajaran. Jenengannana ogě digentos janten Syěh Al Kowanah.
Sultan Banten Kasamaran. Anjeuna henteu engeuh yěn ěta těh saleresna saněs Kian Santang. Ku kituna, kahoyong Jaya antěa kanggo ngagempur pajajaran disaluyuan. Komo sabada ngadangu sasauranana yěn tujuan ngagempur těh seja ngislamkeun pakuan pajajaran.
Dina prungna perang, Jaya Antěa tetep ngincer Nyai Putri Purnamasari sugan sinareng sugan janten kapimilik ku dirina. Nu matak henteu aněh saupami Nyai Putri teras-terasan dipilari. Bělaan aprak-aprakan mapay-mapay leuweung geledegan.
Rakěan Kalang Sunda neuteup seukeut ka palebah aleutan musuh. tětěla musuhna těh mani seueur. Rakěan Kalang Sunda gura giru ngagugahkeun Nyai Putri sareng Raděn Kumbang. Barang rět ka palebah musuh, Nyai Putri ambek salirana mani ngagidir. Peureup na di acung-acung Nyai Putri sareng Raděn Kumbang kagungan maksad badě nyegat abrulan nu di pingpin ku Jaya Antěa. Namung ku Rakěan Kalang Sunda dihalangan bari teras dilelemu.
Amarah Raděn Kumbang lami-lami mah leler. Teras pananganana dijěwang ku Nyai Putri, di ajak lumpat. Nyingkahan musuh-musuhna nu mingkin caket.
Jaya Antěa milarian Nyai Putri těh tos aya kana dua sasihna. taya leuweung nu teu kaasruk, taya tegal nu teu kaaprak. kitu deui lěngkob, reuma, sareng lamping. Sadayana dipapay taliti pisan. Malih jungkrang-jungkrang teras disorang.

  Balad-baladna mingkin lami mingkin ngirangan. Seuseueurna katarajang ku panyawat parna dugika henteuuna sapalih deui kalabur margi henteuu kiateun kedah aprak-aprakan, mapay-mapay leuweung. Atuh, tungtungna Jaya Antěa teu aya nu nyarengan.
Lalampahan těh ěstu nyorangan baě sanaos kitu anjeuna teuneung ludeung, taya ka gimir. Patěkadannana milari Nyai Putri henteuu luntur, pantes ku kitu těa mah, margi anjeuna mah tos masagi. di henteuu-henteuu ogě kantos nyepeng kalungguhan Mantri Majeti Pakuan Pajajaran anu sakti manggulang mangguling.
Jaya Antěa teu pondok pangharepan, anjeuna teu lirěn-lirěn milarian Nyi Putri. Hiji mangsa nya dugi ka hiji saung tikatebihan ku anjeuna katinggal aya istri nuju nyaliksik di payuneun saung. Saparantos disidik-sidik geuning ěta istri těh Nyai Putri Purnamasari. Atuh Jaya Antěa bingah taya hinggana. Anjeuna keketeyepan nyaketan Nyai Putri. Barang badě dirontok, Nyai Putri Rikat bari ngagorowok. Harita těh Raden Kumbang sareng rakěan nuju milari iwung bitung dimumunggang pasir. Barang ngadangu Nyai Purti ngagorowok, atuh kacida reuwaseunnana. duanana tuturubun ngabujeng saung. dugi ka saung, katangěn Jaya Antěa aya didinya, atuh amarah Raden Kumbang ngagedur kitu deui Jaya Antěa, amarahna teu bisa ka bendung. Nya der bae tarung patutunggalan. itu ieu pada gagah. dua nana taya nu kasoran.
Nuju rongkah-rongkahna tarung, nya aya kajantenan anu ahěng. barang Raden Kumbang badě nyěpak Jaya Antěa nu sasampoyongan atuh ngadadak jagat těh oyag. Bray taneuh Beulah palebah raden kumbang pisan. atuh brus baě Raděn Kumbang těh tigebrus kana jěro taneuh.Jaya Antěa kaleresan aya dilebah biwir taneuh anu Beulah anjeuna salamet. Jaya Antěa luak lieuk milarian Nyai Putri. Mung Nyai Putri tos teu aya dicandak kabur ku Rakěan Kalang Sunda. Kaburna Nyai Putri dugi ka hiji gunung nu leuweungna tos jadi reuma dugi kakiwari ěta gunung těh disebat Gunung Reuma.
Pameunteu Nyai Putri katingal marahmay. anjeunna ngaraos bingah Rakěan Kalang Sunda parantos nyalametkeun Utun Inji nu dikandung ku Nyai Putri. Margina si Utun ieu anu jaga baris ngadegkeun tur neraskeun deui Pajajaran.
Ti Gunung Reuma Nyai Putri sareng Rakěan Kalang Sunda neraskeun deui lalampahannana dugi ka hiji palataran palih kiduleun walungan ageung. kiwari ěta walungan těh disebatna Cimandiri. Teras ngababakan didinya ěta palataran těh diliwatan ku wahangan alit nu sungapannana aya handapeun tangkal Dadap nu kacida ageungna, nu ěta babakan těh kiwari disebat Babakan Cidadap.
Hiji mangsa Jaya Antěa dugi ka ěta babakan. kawasnamah anjeuna teras terasan milari raratan Nyai Putri. Harita Nyai Putri nuju ngadaweung payuneun bumi, atuh barang ningal Jaya Antěa ngagidig ngabujeng kadinya, Nyai Putri ngagoak, berebet lumpat sup ka bumi, sorolok panto ditulakan pageuh pisan.
Rakěan Kalang Sunda nuju ngaseuk pengkereun bumi, kacida reuwaseunnana, gura giru ngabujeng. Gok patepang sareng Jaya Antěa nu bade unggah ka tepas. teu antaparah aseuk nu dicecepeng těh di babukkeun. Jaya Antěa nyuksruk kana batu golodog .
Kaayaan Jaya Antěa kitu těh henteu diantep teras ditarajang der galungan. duanana pada pada ngaluarkeun kasaktiannana.

 Tětěla duanana sakti mandra guna. tarungna dugi ka meuntas ka palih kalěr Walungan Cimandiri teras hanjat ka gunung nu kiwari disebut Gunung Jayanti, lebah dinya Kujang Rakěan Murag. saurna janten Arca Sembah Jaya Tipati. nu tarung těh nepi ka lebah karang Pamulang Kiwari . Nya lami-lami Jaya antěa ka tětěr. waktos rada bongoh dirina ditotogkeun ka lebah laut. barang gejebur, ngadadak salin jinis janten lauk nu kacida ageungna. kiwari saurna laukna sok němbongan. ku urang Palabuhan Ratu ěta lauk těh sok di sarebatna si control.
Lembur Babakan Cidadap beuki lami beuki gegek pangeusina. nya Nyai Putri gě tos ngababarkeun, orokna těh istri jenengannana nyai putri mayang sagara pamulangan. Ari Rakěan Kalang Sunda mah ti harita těh teras baě ngalalana.
Dalapan taun ti di adeugkenana Babakan Cidadap, Nyai Putri Purnamasari diangkat janten “Ratu Puun” anu ngangkatna nyaěta sesepuh lembur sareng sakumna rahayat.
Kaayaan Babakan Cidadap mingkin majeng. Para padagang jul jol timana mendi. malih padagang ti Nagari Cina ogě seueur. Ti mangsa harita Babakan Cidadap robih janten Cidadap Palabuan Nyai Ratu.
Saparantos Nyai Ratu Puun Purnamasari sepuh, kalungguhan Ratu Puun dipasrahkeun ka Nyai Putri Mayang Sagara. anjeuna dipasihan gelar “ Nyai Ratu Kidul”.

Share:

Sabtu, 28 Januari 2012

KAWIH - KAWIH KAULINAN BARUDAK BAHEULA

Aya nu apal keneh teu nya, kana kakawihan barudak baheula? sigana mah moal da ari kakawihan nu kalarieu mah geus teu di parake deui ku barudak ayeuna mah, asa mangleubarkeun weh kami mah dan ari kabudayaan sunda teh geuningan sakitu aheng na, cag urang emut-emut deui kakawihanana, bral urang di alajar deui barudak...

Ambil-ambilan

+ Ambil ambilan turugtug hayam samantu
- Saha nu diambil kami mah teu boga incu
- boga gé anak pahatu
+ Pahatu-pahatu gé daék
+ purah nutu purah ngéjo
+ purah ngasakan baligo
- Nyerieun sukuna kacugak ku kaliagé
+ Aya ubarna kulit munding campur dagé
+ tiguling nyocolan dagé

Jaleuleuja

Jaleuleuja
Atulak tu ja éman
gog
Seureuh leuweung
bay
Jambé kolot
bug
Ucing katinggang songsong
ngék

Dongdang mayang

Pamikul adeg-adeg Bujang lanjang ti kidul sing araced

Truk truk brung

Truk truk brung Truk tru brak Buntut lutung panjang rubak Dikenyang-kenyang barudak Barudak

salawé widak Nyèd eng – nyed eng Nyed nyed eng Nyed- nyed eng

IV.

Ningningnang-ningnang Dot em dot blem Dalem sumping dor bajidor Tutunjuk kembang malati

Laole ole obong …………………………………………. (hilap deui)

Adu riri silih pinyong ( ?) Inyong-inyong mas muria Adu gandék raja belang

V.

Néngnang néng prak Térélék embé janggotan Pa kuwu kariaan Laukna lauk bilatung Kéjona kéjo

gandrung Trangtrung bedog buntung Trungtrang bedog rompang Hét hét embé janggotan Kélék

monyét héhéotan Badubanglpak dug blem

VI.

Pacublek-cublek uang Uangnya manggulenténg Butata – butiti Padati wara – wiri Tangsi nona

Tangsi tuan Ka teluk bungbung Pok érah Pok érah Si Sidin mau kawin Potong kerbau péndék

Potong kerbau tinggi Tingginya jemblang – jemblung Ta eem Ta eem Ta em – ta em – ta em

VII.

Sakentrung – sakentrung Paré hawara di huma Ditutuna lisung kai (pondok ?) Trung dung trung

dung éng Trung dung trung dung éng

VIII.

Sakentrung taligung Pécik pécang Tété tulak Tété wondo Dalem surak raja sono Kalisanga

domblé Kacang diraraweuy Tembus kénéh Dodol sana Dodol sini Cir kuciplek Doli doéng

IX.

+ Endeuk-eundeukan lagoni - Meunang peucang sahiji + Leupas deui ku nini - Beunang deui ku

aki + Leupas deui ku ninina nini nini - Beunang deui ku akina aki-aki + Leupas deui ku

ninina ninina ninina nini nini - Beunang deui ku akina akina akina akina aki-aki + Leupas

deui ku ninina ninina ninina ninina ninina ninina nini nini………… - Beunang deui ku akina

akina akina akina akina akina akina akina aki-aki ……..



X.

Pérépét jéngkol jajahéan Kadempét kohkol Jéjérétéan

XI.

Ehon bérod Ehon bérod Ehon bérod Roda sapi buntung Tunggir hayam bikang Kangkung sisi gawir

Wira dagang oncom Comél ka nu gélo Lodong kosong ngentrung Trung trung trung kohkol alarm

XII

Santri maan dodol Doléwak nincak waduk Duka waduk saha Haneut kénéh pisan (balik deui kana

santri maan dodol ………… Kitu jeung kitu waé bulak balik)

XIII

Bubulaoan Si semar maling gunting Guntingna kabulaoan Ta eem te eem Sidakep bari balem
XIV

Ojok – ojok uang aung
Ngarorojok nu disaung
Ojok-ojok undar andur
Ngarojok nu keur tandur
Ojok-ojok umbet-ambét
Ngarojok nu ngarambét
Ojok-ojok uat-aut
Ngarojok nu dibuat
Ojok – ojok ata utu
Ngarorojok nu keur nutu
Ojok-ojok unggang anggéng
Ngarojok nu keur nonggéng
Ojok-ojok ucad aced
Ngorojok nu aced-acedan

XV

Oray-orayan
Oray naon
Oray bungka
Bungka naon
Bungkalaut
Laut naon
Laut dipa
Dipa naon
Dipandeuri ………..

XVI.

+ Oray-orayan luar léor mapay sawah
- Entong ka sawah paréna keur sedeng beukah
+ Mending ka leuwi di leuwi loba nu mandi
- Saha anu mandi – anu mandina pandeuri

XVII.

Bubur beureum
Sabrang wétan
Kurawed angked
Blep

XVIII.

Si roji meuli paku
Ku babah teu dibéré
Pokna mata sia
Dai nippon nu kawasa

XIX.

Cingcangkeling manuk cingkleung // Cindeten // Blos ka kolong bapa satar buleneng

Ayang-ayang Gung

Ayang-ayang gung
Gung goongna ramé
Ménak Ki Mas Tanu
Nu jadi wadana
Naha manéh kitu
Tukang olo-olo
Loba anu giruk
Ruket jeung Kumpeni
Niat jadi pangkat
Katon kagoréngan
Ngantos Kangjeng Dalem
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong
Jalan ka Batawi ngemplong

XXI.

Disurung ungkug-ungkugan
Diséréd jéjérétéan
Bulu irung digelungan
Bulu kélék dilélépét

Bang kalima lima gobang

Bang kalima lima gobang (bang)
Bangkong di tengah sawah (wah)
Wahéy tukang bajigur (gur)
Guru sakola désa (sa)
Saban poé ngajar (jar)
Jarum paranti ngaput (put)
Putri nu gareulis (lis)
Lisung kadua halu (lu)
Luhur kapal udara (ra)
Ragrag di Jakarta (ta)
Taun tujuh hiji (ji)
Haji rék ka Mekkah (kah)
Kahar tujuh rébu (bu)
Buah meunang ngala (la)
Lauk meunang nyobék (bék)
Béker meunang muter (ter)
Terus ka Cikampék (pék)
Pékna dagang kalam (lam)
Lampu eujeung damar (mar)
Mari kuéh hoho (ho)
Hotél panglédangan (ngan)
Ngantos Kangjeng Dalem (lem)
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong

XXIII

Kalongking // Kalongking // Bapa sia // Utah ngising // Cecewok dina pependil

XXIV

Sasalimpetan
Jajahan aing nu panjang

Sursér-sursér

Sursér sursér
Amis cau
Amis kembang
Hileud sita
Tarungambang
Yéy iyéy
Tai manukan
Yéy iyéy
Tai manukan

XXVI

Prang pring, prang pring
salumprang salampring
Sabulu bulu gading
si gading ka Sunda perang
pur kuntul engkang-engkang
munding ngabongkar kandang
salewek sadugel cindel
heug, heug caringin runtuh
heug, heug caringin runtuh
dorokdok gubrag
+pung puyuh/
angèl angèl pèrah jambè/
torolong hayam kakolong
suku si jaèni
nilep sabeulah.............(upami teu lepat mah kitu)

Cang ucang anggé

Cang ucang anggé
Mulung muncang ka paranjé
Digogog ku anjing gedé
Anjing gedé nu Pa Lebé
Ari gog gog cungunguuuung

Héhéotan

Héh héh héhéotan
Bulu kélék jambréosan
Nini-nini dagang ketan
Teu payu dicarékan

Share:

Sabtu, 07 Januari 2012

STRUKTUR ORGANISASI SANGGAR SENI PANINEUNGAN


               
















  Pelindung         
 Ujang Hendi

  Penasihat Bid.Karawitan        
 Ujang Hendi 
   Penasihat Bid.Tari      
  Dewi Sriwiyatna 



Ketua                                : Lisna Anggraeni

Wakil ketua                     :  Andrianto Ramdan


Sekretaris                        :  Dewi Sriwiyatna

Bendahara                       :  Saulina Siregar

Seksi Geunding               :  Ujang Hendi


Seksi Peralatan               :  Alfiansyah

Publikasi                         :  Dita Ayuningtyas


Contact Person : 081563742800 (Ujang Hendi)

Share:

Selasa, 03 Januari 2012

Hayu urang di ajar Karawitan bagian ka 5 Oleh : Ujang Hendi

  2        Fungsi Karawitan


Ditinjau dari penyajiannya,karawitan mempunyai beberapa fungsi,antara lain sebagai iringan,sebagai ungkapan rasa,dan pencerminan jiwa,hiburan,apresiasi,social, sarana upacara,dan komersil.
   2.3  Sebagai Iringan
Selain disajikan secara mandiri,karawitan berfungsi pula sebagai pengiring dan pemberi ilustrasi pada jenis kesenian lain,diantaranya : iringan tari,iringan wayang,dan sebagai ilustrasi pada seni drama.
2.4  Sebagai Ungkapan Rasa dan Pencerminan Jiwa
Seni merupakan sebuah ekspresi,yaitu ungkapan perasaan dan jiwa seseorang.Didalam karawitan,perasaanseperti gembira,sedih,marah,cinta,sering di ungkapkan dalam berbagai bentuk.Yang paling terlihat apabila kita memperhatikan syair dari sebuah lagu.
Perhatikan ungkapan rasa dan pencerminan jiwa dari rumpaka lagu dibawah ini :
Pupuh Juru Demung
Hanjakal abdi hanjakal
Emut nukapungkur-kapungkur
Pun bapak nu ngaping
Abdi tara mirosea
Abdi kalah mindeng pundung
Ayeuna kantun hanjakal
Sabada pun bapak ngantun
Teu aya nu ngaping
Da pun biang teu damang
Kasaha abdi nyaluuh
Rumaos ku seueur dosa
Kabapa miwah ka indung
Tambih peurih ati
Abdi sok mindeng ngagukguk.

2.5  Hiburan
            Karawitan berfungsi sebagai hiburan artinya : dengan bermain atau mendengarkan karawitan,seseorang dapat  terhibur dan tumbuh perasaan senang di dalam hatinya.Hampir semua jenis karawitan sunda mengandung unsure hiburan,namun secara umum dan sering dijumpai unsure ini terdapat pada beberapa jenis karawitan,antara lain :
a.       Kliningan
b.      Degung kawih
c.       Jaipongan
d.      Ketuk tilu
e.       Calung
f.       Reog
g.      Bangreng
h.      Wayang bodoran
i.        Longser

2.6  Apresiasi
            Pengertian apresiasi dalam karawitan ialah terjadinya komunikasi antara penyaji(pemain atau seniman)dengan penontonnya dalam sebuah pementasan.Karawitan berfungsi sebagai apresiasi,artinya jika setelah pertunjukan,akan lahir sebuah pengalaman baru pada penontonnya.Pengalaman tersebut dapat berbentuk antara lain meningkatkan sikap apresiasi terhadap nilai-nilai kehidupan,seperti kebajikan,spiritual,dan nilai-nilai lainnya yang belum didapatkan sebelum menyaksikan pertunjukan karawitan tersebut.
Satu bentuk penyajian karawitan bisa dikatakan berfungsi sebagai apresiasi apabila materi sajiannya mengandung unsur-unsur yang dapat membangkitkan penilaian secara positif.
2.7  Sosial
            Karawitan bisa berfungsi social,artinya karawitan dapat dipergunakan sebagai media untuk mempengaruhi sikap perilaku dan kebiasaan suatu masyarakat pada suatu tujuan tertentu.Fungsi social yang biasa disampaikan melalui karawitan meliputi : ungkapan politik dan ideology,gambaran kondisi social masyarakat tertentu,dan informasi penerangan.Kita sering mendapatkan lagu-lagu maupun geunding yang berisi ajakan untuk mensukseskan suatu program pemerintah,untuk membakar semangat kerja,gotong royong dan sebagainya.
Perhatikan syair lagu dibawah ini !
SABILULUNGAN
Sabilulungan dasar gotong royong
Sabilulungan sifat silih rojong
Sabilulungan genteng ulah potong
Sabilulungan persatuan tembong

Tohaga,rohaka
Teguh tangguh perbawa sabilulungan
Satia,sajiwa
Segut singkil ngabasmi pasalinsingan
Selain dalam bentuk lagu,kita pun sering menyaksikan beberapa pementasan karawitan sebagai media penerangan,seperti terdapat pada :
Ø  Wayang golek
Ø  Calung
Ø  Reog
Ø  Longser

2.8  Sarana Upacara
            Adanya kepercayaan pada sebagian masyarakat Jawa Barat yang tercermin dalam berbagai upacara yang bersifat religious,sebagian besar selalu berkaitan dengan kesenian,seperti tarian-tarian upacara penghormatan,persembahan dan selamatan,yang mempergunakan karawitan sebagai iringannya.
            Sampai kini,beberapa upacara masih dilaksanakan oleh sebagian masyarakat.Namun adapula yang telah berubah fungsi menjadi sebuah seni pertunjukan.Berikut ini adalah contoh karawitan yang berfungsi sebagai sarana upacara :
Ø  Tarawangsa sebagai pengiring upacara panen dan nyimpai padi di daerah Rancakalong,Sumedang.
Ø  Angklung sered sebagai pengiring upacara menanam padi di daerah Banten.
Ø  Seni helaran,atau iring-iringan pada upacara memandikan anak yang akan di khitan.
Ø  Pementasan wayang golek.

2.9  Komersil
            Pada zaman dahulu sebagian besar orang berkesenian hanyalah untuk mendapatkan kepuasan spiritual.Namun disaat sekarang,orang melakukan kegiatan berkesenian bukan hanya untuk mendapatkan kepuasan spiritual,namun juga kepuasan material,yaitu kepuasan yang berbentuk fisik,seperti mendapatkan upah.
            Seiring dengan kemajuan zaman,kedudukan karawitan sudah sejajar dengan jenis kesenian lainya.tentunya hal ini mempengaruhi pula terhadap segi-segi kehidupan senimamnya sendiri,khususnya dalam jaminan materi.
Share:

About Me

Foto saya
Urang Sunda Bakal Ilang Dangiangna Lamun Ilang Budayana.
Diberdayakan oleh Blogger.

Followers